Beranda | Artikel
Tauhid, Jalan Menuju Keadilan Dan Kemakmuran(1)
Selasa, 17 September 2019

TAUHID, JALAN MENUJU KEADILAN DAN KEMAKMURAN(1)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

KEDUDUKAN TAUHID DALAM ISLAM
Tauhid merupakan pangkal syukur bagi seorang muslim.[1]

اَلْحَمْدُ ِللهِ وَحْدَهُ، وَالصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَبَعْدُ:

Alhamdulillaah, tiada hentinya kita senantiasa memanjatkan rasa syukur kepada Allah -Rabb Yang Maha belas kasih lagi Maha Penyayang. Dia telah memberikan dua nikmat yang tiada bandingannya, yaitu nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Dengan kedua nikmat itu, manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan diselamatkan dari siksa, baik di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu, bagi para hamba Allah yang telah mendapatkan nikmat tersebut, harus mengikatnya dengan rasa syukur serta selalu memohon kepada Allah, agar menjadi hamba yang selalu bersyukur. Dan bukti syukur seorang muslim atas nikmat ini, yakni dengan menjadi muslim yang ridha bahwa Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad -penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahnya- yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, menasihati ummat, dan telah menunjuki ummat ke jalan yang terang serta lurus, yang sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata.

Kewajiban seorang muslim sejati adalah menjadi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, mengikuti petunjuknya, mencontoh teladannya, melaksanakan Sunnah-sunnahnya dan membela Sunnahnya, serta menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah, untuk mengajak ummat manusia agar mentauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.

Kalimat tauhid bagi kaum Muslimin, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan kalimat yang sudah tidak asing lagi, karena tauhid bagi mereka, sebagai suatu ibadah yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan yang pertama kali didakwahkan sebelum lainnya.

Allah Ta’ala berfirman :

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ  أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ 

… Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)… [az Zumar/39 :2-3]

Allah Ta’ala juga berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya…[al Bayyinah/98 :5].

Seluruh para nabi dan rasul عليهم الصلاة والسلام telah mendakwahkan tauhid kepada ummatnya di setiap kurun (generasi)nya. Sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, (untuk menyerukan) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu mentauhidkanNya) dan menjauhi thaghut… [an Nahl/16:36].

Dan firmanNya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) selain Aku, maka beribadahlah kamu sekalian kepadaKu”. [al Anbiyaa’/21 :25].

Juga firman-Nya:

فَأَرْسَلْنَا فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata) : “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada ilah yang haq bagimu selainNya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)?” [al Mukminun/23 : 32].

Semua rasul memulai dakwah mereka kepada kaumnya dengan tauhid Uluhiyyah, agar kaum mereka beribadah dengan benar hanya kepada Allah saja.

Seluruh rasul berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja.[2]

Kemuliaan ilmu tergantung dari kemuliaan apa yang dikaji. Dan ilmu tauhid adalah semulia-mulia ilmu. Ilmu yang paling agung dan mulia adalah ilmu tauhid dan ushuluddin. Karena, atas tauhid itulah Allah menciptakan jin dan manusia, menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul, serta menciptakan surga dan neraka. Barangsiapa mempelajari ilmu tersebut dan mengamalkannya, maka dialah orang yang bertakwa lagi berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa mengabaikannya dan tidak mau mempelajarinya, maka dialah orang yang sengsara dan celaka.

Allah menyuruh hambaNya untuk menuntut ilmu syar’i, yang pertama harus dipelajari adalah ilmu tauhid, mengenal Allah, mengkaji bagaimana mentauhidkan Allah, beribadah kepadaNya dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman:

 فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggal-mu. [Muhammad/47 :19].

Orang yang mati dalam keadaan bertauhid kepada Allah, maka ia akan masuk surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.[3]

Dengan demikian, kedudukan tauhid adalah sebagai pondasi bagi bangunan amal seorang muslim. Perhatian seorang yang arif tentu senantiasa tertuju pada pembenahan pondasi. Sedangkan orang yang bodoh, ia akan terus meninggikan bangunan, tanpa mengokohkan pondasi, sehingga robohlah bangunannya.

Keikhlasan dan tauhid, juga diibaratkan seperti sebatang pohon yang tumbuh dalam hati, amal perbuatan adalah cabang-cabangnya, kedamaian adalah buahnya yang dirasakan dalam kehidupan dunia ini, serta kenikmatan yang kekal di akhirat kelak. Sebagaimana buah-buahan surga, tidak akan terputus dan terlarang. Demikian pula halnya “buah” keikhlasan dan tauhid di dunia ini, tidak akan terputus dan terlarang. Kesyirikan, dusta dan riya’ bagaikan sebatang pohon yang tumbuh dalam hati manusia, buahnya di dunia adalah ketakutan, kekhawatiran, kebingungan dan kesempitan yang dirasakan dalam dada, serta kegelapan yang menimpa hati. Sedangkan di akhirat kelak akan membuahkan zaqqum[4] dan adzab yang kekal.[5]

DEFINISI TAUHID & MACAM-MACAMNYA[6]
Tauhid -dalam bahasa Arab- adalah mashdar dari وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا , artinya menjadikan sesuatu itu satu.

Tauhid -dalam ilmu syar’i (terminologi)- adalah mengesakan Allah Azza wa Jalla terhadap sesuatu yang khusus bagiNya, baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma’ dan SifatNya. Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah saja.

Tauhid terdiri dari tiga macam : Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al Asma’ wash-Shifat.

Tauhid Rububiyyah, yaitu mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

… Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah.  Mahasuci Allah, Rabb semesta alam. [al A’raf/7:54]

Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan suatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al Baqarah/2:163].

Tauhid Asma’ wash-Shifat Allah, yaitu menetapkan apa-apa yang Allah Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas DiriNya, baik berupa nama-nama maupun sifat-sifat Allah, serta mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita wajib menetapkan Sifat-sifat Allah, baik yang terdapat di dalam al Qur`an maupun dalam as Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.

Firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ  

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Men-dengar lagi Maha Melihat. [ asy Syura /42 : 11].

ISLAM ADALAH AGAMA TAUHID
Definisi Islam adalah :

َاْلإِسْتِسْلاَمُ  ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.

(Berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkanNya, tunduk patuh kepadaNya dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan laranganNya), serta membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik).[7]

Jika kita kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita bahwa ‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid, dan dakwah mereka dimulai dengan tauhidullah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa.

Maka, hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi (termasuk Nabi Muhammad) عليهم الصلاة والسلام adalah bagaikan pondasi sebuah bangunan (dan bagaikan ruh bagi badan). Karena jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, demikian pula seluruh Rasul. Di antara contohnya adalah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ketika diutus ke Yaman.[8]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.

Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya : Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata) (juga lafazh lainnya : Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (Dalam suatu riwayat : Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.[9]

TAUHID DAN KEADILAN
Pertama. Allah memberitahukan bahwa tujuan dari penciptaan dan perintah adalah, agar makhluk mengetahui Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, agar mereka beribadah hanya kepada Allah saja, tidak dipersekutukan dengan makhlukNya, dan agar menusia berlaku adil. Keadilan adalah dasar tegaknya langit dan bumi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan… [al Hadid/57:25].

Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkan Kitab-kitab-Nya adalah agar manusia menegakkan keadilan. Keadilan yang paling besar adalah tauhid (mentauhidkan Allah), dan tauhid merupakan pokok, asal, dan tonggak keadilan. Sedangkan syirik adalah kezhaliman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya perbuatan syirik adalah kezhaliman yang paling besar. [Luqman/31:13].

Karena itulah, syirik (menyekutukan Allah) adalah kezhaliman yang paling zhalim, dan tauhid adalah keadilan yang paling adil.[10]

Kedua. ‘Aqidah tauhid membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk dengan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala saja, serta tidak mengikuti melainkan hanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

‘Aqidah tauhid, menuntut seorang muslim untuk meninggalkan segala bentuk penghambaan kepada selain Allah, karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk menciptakan, mengabulkan permintaan dan berbagai sifat Ilahiyyah lainnya.

Sebaliknya, orang yang berbuat kemusyrikan, berarti dirinya telah berbuat zhalim -lawan dari adil- lagi ingkar. Bagaimana mungkin dia menyembah kepada sesuatu -yang tiada memiliki kekuasaan- padahal Allah yang menciptakan dirinya dan dia bersyukur kepada sesuatu itu, padahal Allah-lah yang memberinya rizki. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ  إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak meng-hendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. [adz Dzariyat/51:56-58]

Ketiga. Perintah untuk berlaku adil.

 اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

…Berlaku adillah, karena (adil itu) lebih dekat kepada takwa…. [al Maa-idah/5:8].

Islam, sebagai agama tauhid, memerintahkan penganutnya untuk berakhlak mulia, bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan adil dan baik, serta melarang perbuatan yang buruk. Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [an Nahl/16:90].

Bahkan Allah menyebut KitabNya (al Qur`an) sebagai kalimat yang adil. Allah Ta’ala berfirman :

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا

Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (al Qur`an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil … -al An’am/6 ayat 115- maksudnya, benar dalam berita, serta adil dalam memerintah dan melarang.[11]

Keempat. Tauhid dan bersikap adil terhadap sesama muslim dan orang kafir.

TAUHID MEMISAHKAN ANTARA ORANG MUSLIM DENGAN ORANG KAFIR
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, bahwa orang yang mengucapkan dan meyakini kalimat tauhid (لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ), maka dia adalah seorang muslim yang berhak mendapatkan perlindungan dari penguasa kaum Muslimin dan mendapatkan janji surga. Seorang muslim berhak atas hak wala’ (loyalitas) dari kaum Muslimin lainnya karena tauhid dan ketaatannya kepada Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya, orang yang mengingkari kalimat tauhid dengan berbuat syirik -dengan kesyirikan yang membuatnya keluar dari Islam- maka orang tersebut harus diperangi dan berhak atas hak bara’ (kebencian) dari seluruh kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan al Kitab hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. [at Taubah/9:29].

Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ، عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang diibadahi dengan benar melainkan Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka ada pada Allah Ta’ala.[12]

Perintah memerangi kaum kafir dan musyrik adalah karena kekufuran dan kemusyrikan mereka terhadap Allah Dzat yang menciptakan mereka- serta karena ‘aqidah mereka yang menyimpang dari ‘aqidah tauhid; bukan karena dendam pribadi, memperebutkan negara atau wilayah kekuasaan. Demikianlah perintah Allah kepada RasulNya, juga ummat ini untuk memerangi kaum musyrikin, agar manusia berbondong-bondong masuk agama Allah dan mentauhidkanNya.

Perintah memerangi, melawan dan membunuh orang kafir, maksudnya adalah kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Adapun terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin, maka kita diperintahkan untuk berbuat adil terhadap mereka dan tidak boleh men-zhaliminya. Kalau mereka kafir dzimmi (mendapat perlindungan dari pemerintahan Islam), atau mu’ahad (mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Islam), atau musta’man (mendapat perlindungan keamanan dari pemerintahan Islam), maka mereka tidak boleh dibunuh. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al Mumtahanah/60:8].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang membunuh orang kafir mu’ahad atau dzimmi dengan hukuman yang keras. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu dapat tercium dari (jarak) perjalanan empat puluh tahun.[13]

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Barangsiapa yang membunuh seorang dari ahli dzimmah, maka ia tidak akan mencium aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu dapat tercium dari (jarak) perjalanan empat puluh tahun.[14]

Hal ini menunjukkan bahwa, orang kafir saja tidak boleh ditumpahkan darahnya, apalagi terhadap seorang muslim.[15]

bersambung ke hal 2

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Fawaa-idul Fawaa-id, halaman 149.
[2] Sebagaimana perkataan Nabi Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Lihat al Qur`an surat al A’raf/7 ayat 65,73 dan 85.
[3] HR Muslim (no. 26) dari Sahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[4] Sebatang pohon yang tumbuh di neraka, -pen.
[5] Lihat al Fawaa-idul Fawaa-id, halaman 261, karya Ibnul Qayyim, dan lihat tentang perumpamaan ini dalam surat Ibrahim/14 ayat 24-27.
[6] Lihat pembahasan lengkapnya dalam buku saya, Prinsip Dasar Islam, halaman 33-64, Cetakan III, Pustaka at Taqwa, Bogor.
[7] Al Ushuuluts-Tsalaatsah, oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah.
[8] Lihat Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, halaman 624-626 oleh penulis.
[9] HR al Bukhari (no. 1395, 1458, 1496, 4347, 7372) dan Muslim [no. 19 (29)], dan lainnya.
[10] Lihat ad Daa’ wad Dawaa’, halaman 196, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Abdul Hamid..
[11] Lihat Tafsiir Ibnu Katsir.
[12] HR al Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[13] HR al Bukhari (no. 3166), an Nasaa-i (VIII/25), Ibnu Majah (no. 2686) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma .
[14] HR Ahmad (II/186), al Hakim (II/126-127), al Baihaqi dalam Sunan-nya (IX/205), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr c . Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi.
[15] Lihat pembahasan tentang haramnya menumpahkan darah seorang muslim tanpa hak, pada buku saya, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, halaman 127-128, Cetakan III, Pustaka Imam asy Syafi’i.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12890-tauhid-jalan-menuju-keadilan-dan-kemakmuran1.html